Aku mengenalmu melalui kumandang azan yang kau lantunkan
dari balik hijab sana. Tanpa pernah kutahu siapa dirimu itu. Aku mengagumimu,
hanya lewat suara yang mengalun merdu itu. Tanpa peduli seperti apa rupamu,
siapa namamu. Aku hanya mengagumimu. Itu saja.
Suatu hari, ketika terik matahari menusuk tulang, kembali kutangkap suaramu.
Namun, kali ini, kau tak melantunkan azan seperti biasanya. Kau justru
bertakbir dan melafalkan surat al-Fatihah dengan syahdu. Aku yang baru tiba di
mushola dalam keadaan kegerahan tak karuan, langsung terduduk dan membisu.
Menyimak bacaanmu yang entah bagaimana bisa seindah itu. Dan lagi, harus kuakui
bahwa aku mengagumimu.
Terkadang, aku pun dihantui rasa penasaran tentang dirimu. Ingin sekali rasanya
bertanya pada para perempuan berkerudung panjang yang biasa berlama-lama di
mushola ini, barangkali di antara mereka ada yang mengenal suaramu. Sayangnya,
aku tak seberani itu. Aku masih menjadi penikmat suaramu. Mendengarmu pun sudah
lebih dari cukup bagiku.
Memasuki bulan kelima sejak aku menjadi pengagum suaramu, aku mulai merasa
kehilangan. Tak ada lagi lantunan kumandang azan dengan suara khas yang telah
kuhafal itu. Kutunggu dalam waktu shalat Zuhur dan Asar, dimana biasanya
kudapati suaramu hadir sebagai pengisi imam dari balik hijab sana. Namun
kenyataannya, kau tidak ada. hingga akhirnya
kusadari, mungkin aku takkan pernah lagi mendapati suara itu hadir menyinggahi telingaku untuk kemudian memenuhi ruang hatiku.
kusadari, mungkin aku takkan pernah lagi mendapati suara itu hadir menyinggahi telingaku untuk kemudian memenuhi ruang hatiku.
Mungkin, tidak ada lagi.
***
“Dik, maaf ini terlalu mendadak. Bahkan kita pun belum terlalu saling
mengenal.”
Aku masih tertunduk dalam gaun pengantinku yang serba putih itu. Lelaki
jangkung berjanggut tipis itu duduk di sisiku. Mencoba mengamati wajahku
sejenak.
“Kamu beres-beres dulu, ya. Biar aku mandi di luar saja.”
Ia bergegas mengambil pakaian dari lemari dan keluar kamar. Meninggalkanku
dalam kebimbangan yang tak bisa kuterjemahkan.
Betapa jahatnya diriku ini. Menerima lamaran seorang laki-laki yang tak lain
merupakan anak dari rekan kerja ibuku. Rupanya mereka telah lama mengatur
perjodohan antara aku dan Mas Gandhi ini. Padahal, aku sendiri tak memiliki
perasaan apa-apa kepadanya.
Kami baru bertemu dua kali sebelum hari pernikahan ini. Itu pun aku memilih
cuek tak memperhatikannya. Aku hanya berusaha bersikap santun di hadapan
keluargaku dan keluarga besarnya. Ya, hanya itu.
Apakah aku jahat?
Aku masih mengingat dengan jelas seperti apa suara yang kukagumi itu. Suara
yang bahkan sudah tak kudengar selama tiga tahun lamanya. Lantunan
ayat-ayat-Nya yang paling indah dibanding dengan bacaan murotal siapa pun. Aku
masih……masih sangat mengagumi suara itu, hingga kini aku telah menjadi istri
seseorang.
Lelaki itu masuk ketika aku sedang mengeringkan rambut dengan handuk. Aku pun
terkesiap dan langsung menutup rambutku dengan handuk sekenanya. Masih begitu
kaku dengan kehadiran laki-laki di dalam kamarku sendiri.
“Maaf, Dik. Tidak maksud membuatmu kaget,” ujarnya sambil tersenyum.
“I-iya… Maaf, Mas.”
Aku menyingkirkan handuk yang bertengger di kepalaku dan bergegas dengan
kesibukan lainnya. Aku menyiapkan sajadah serta mengenakan mukena untuk salat.
“Jama’ah, ya?”
Tanpa menunggu jawabanku, ia telah menggelar sajadah di sisiku dengan jarak
yang lebih maju ke depan.
Saat lantunan iqamah-nya tertangkap oleh indera pendengaranku, hatiku seketika
bergetar. Ketika takbir menggema, kemudian disusul dengan bacaan surat
al-Fatihah dan ar-Rahman, mataku tak mampu membendung ekspresi getaran hatiku
ini. Airmata tumpah dalam salatku.
Aku mengenal betul suara ini. Suara yang telah kukagumi tanpa kukenal siapa
pemiliknya.
Suara ini jelas adalah milik imam salatku, suamiku, Mas Gandhiku.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Sumber : Ridwan P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar